Satu lagi film hasil proyek restorasi ABS CBN yang saya tonton. Versi restorasi ini dirilis pada tahun 2014, sekaligus dengan perayaan 30 tahun film ini. “Virgin People” awalnya bukanlah sebuah film yang merupakan big blockbuster pada masanya. Namun, ada alasan tersendiri dari pihak perestorasi untuk menyelamatkan film drama erotica arthouse ini. “Virgin People” punya kesan cult mendalam, yang akan menghampiri penonton dengan cerita sederhana dengan paduan realita, isolasi manusia, serta simbolisasi didalamnya.
Suatu kisah, di sebuah daerah pedalaman di Filipina, hiduplah seorang Ayah beserta tiga putrinya. Mereka hidup bahagia dengan memenuhi kegiatan sehari-hari seperti bertani, berburu, ataupun merawat hewan ternak di sekitar rumah. Rumah mereka pun sederhana, hanya beralaskan bambu dan jerami, dan ada sebuah sumur kecil di bagian depan.
Tiga putri tersebut, tumbuh menjadi sosok yang cantik. Mereka adalah Ikang, Aning dan Talya, sosok kakak beradik yang diperankan oleh Janet Bordon, Myrna Castillo dan Pepsi Paloma. Yang tertua, Ikang, masih 17 tahun, dan kedua saudarinya seperti punya usia yang tidak terlalu jauh dengannya. Kisah film ini pun dimulai ketika hadirnya sahabat sang ayah, Cho Igna, yang diperankan oleh Joonee Gamboa, yang mengunjungi rumah mereka untuk membawa banyak oleh-oleh dari perkotaan. Ternyata, ada udang dibalik batu. Dari usaha yang terlihat manis bagi para perempuan polos ini, ternyata berujung dengan kematian sang Ayah.
Tanpa seorang ayah, ketiganya berusaha untuk menjaga mandat untuk tinggal di pedalaman. Tak lama, datanglah seorang pria bernama Isaac, diperankan oleh Ernie Garcia, yang mengaku sebagai bawahan Cho Igna. Pria yang bertutur dengan terbata-bata ini sedang menjalankan aksi pelarian setelah membunuh majikannya yang sudah menghancurkan hidupnya. Kehadiran Isaac ternyata malah memberi bab baru dari ketiga saudari ini.
Kehidupan mereka diatur cukup unik. Tidak seperti di “Sokola Rimba” yang mengisolasi dunia modern karena aturan adat. Disini, sang Ayah mengisolasi ketiga putrinya dengan alasan personal. Walaupun sebetulnya sang ayah masih berurusan dengan dunia luar lewat transaksi kadal untuk Cho Igna. Begitupun dengan anak-anak yang masih mengenali barang-barang perkotaan berkat hadiah Cho Igna. Igna, yang memang hanya muncul di bagian awal cerita, sebetulnya menjadi penghubung antara dunia isolasi Ayah dan realita.
Film yang ditulis dan disutradarai oleh Celso Ad Castillo ini memang punya cerita yang tak lazim. Kisah yang diangkat punya banyak segi cerita dengan bibit penuh kontroversi. Mulai dari membahas sexual awakening, pemerkosaan di bawah umur, love interest mereka yang memiliki disabilitias, hingga bumbu erotis disana-sini. Saya mencatat ada kurang lebih 7 adegan seks yang dihadirkan film ini. Begitupun dengan penampilan pemainnya yang cukup berani untuk bugil, mulai dari Garcia dan ketiga love interest-nya. Yang paling membuat saya takjub, malah karakter Talya, yang sepertinya digambarkan masih berusia 14 tahun, yang terjebak dengan pemerkosaan namun sekilas berubah menjadi seseorang yang cukup addictive with sex. Tentunya, ini tontonan khusus dewasa.
Sosok Pepsi Paloma, aktris Filipina yang kala itu masih berusia 19 tahun di film ini terbilang cukup berani lewat adegan-adegan telanjangnya. Tanpa sensor memang, namun aktris yang memutuskan mengakhiri hidupnya pada puncak karirnya satu tahun setelah rilisnya film ini, masih menyimpan banyak misteri. Mulai dari kasus pemerkosaan berantai yang pernah dialaminya yang diduga menjadi pemicu aksi bunuh dirinya. Melalui “Virgin People,” saya merasa apa yang ditampilkan Paloma disini juga sudah menjadi sesuatu yang biasanya baginya, seperti apa yang Talya hadirkan disini. Yang pasti, misteri kematian Paloma masih memberikan coreng hitam untuk dunia hukum di Filipina, apalagi ketika ketiga pelaku pemerkosa tidak mendapat hukuman sepantasnya dari aturan yang berlaku disana.
Kembali membahas film ini. Ketika film ini berjalan semakin jauh, hal yang terbenam di benak saya adalah semakin mempertanyakan film ini. Saya terus bertanya dengan usaha Castillo untuk menghidupkan “Virgin People” sebagai sebuah film erotis ataupun sebagai arthouse. Pada akhirnya, saya merasa Castillo seperti lebih mencondongkan film ini sebagai sebuah arthouse, apalagi dengan kesan simbol dan perumpaan yang lumayan terasa di film ini. Erotis sih iya, cuma “Virgin People” terbilang punya kelas, yang mungkin bisa saya sandingkan dengan “The Dreamers” yang merupakan jebolan Cannes.
Selain dari penceritaannya yang menarik, yang kadang bisa memancing keinginan seksual penonton, “Virgin People” mengingatkan saya bahwa melalui adanya keterbatasan kadangkala dapat membuat orang untuk tidak mau berpikir lebih dari situ dan adanya unsur penerimaan. Seperti yang dialami tiga saudari ini. Jikalau mereka dibesarkan secara open-minded, tentu saja, kehadiran Cho Igna ataupun Isaac tidak akan memberikan drama seperti di film ini. Mereka tentu akan memilih pria yang lebih ‘waras’ dan ‘sehat’ tentunya, sebab logikanya, ya ada banyak pria di dunia ini.
Musik film ini juga patut dipuji. Memang, film ini tidak seperti film Hollywood yang punya banyak score track di tiap filmnya. Tapi, dengan satu jenis background music yang kerapkali diulang, berhasil membuat identitas film ini. Termasuk, adegan nyanyian sederhana ketiga saudari di kala mereka bahagia. Saya merasa kesan artistik yang mendalam dicampur sedikit misterius.
“Virgin People” cukup kaya dan berhasil diekplorasi dari segala benih kontroversinya. It was an under-rated film. Apa yang disajikan Celso Ad. Castillo memang terasa sangat pantas, sangat pantas jika film ini perlu untuk diselamatkan. Saya cukup amat tidak menyangka, dari setting yang cukup sederhana, ternyata bisa ada kisah dari Filipina yang cukup nyeleneh, kadang bikin nafsu, tetapi juga berbobot. Cool!