Rap telah menjadi dunia bagi seorang Coco Ford. Niatnya untuk menjadi seorang rapper dari New York tidak pernah berhenti. Bersama tiga rekannya, mereka mengejar karir bermusik. “Love Beats Rhymes,” yang juga salah satu andalan Lionsgate di tahun ini, mengawinkan rap dan puisi dalam ceritanya.
Coco, yang diperankan oleh Azelia Banks, menikmati masanya sebagai rapper tunggal dalam grupnya. Ia juga menjalin hubungan dengan salah satu rekan lainnya, Mahlik, yang diperankan oleh John David Washington. Suatu ketika, Ia memergoki Mahlik bersama perempuan lain, dan membuat Coco untuk meninggalkan dunianya selama ini. Ia memutuskan untuk kembali ke akademis, menuntaskan sarjana Akuntansinya.
Bersama teman akrabnya, Julie, yang diperankan oleh Hana Mae Lee, mereka mengambil kelas Poetry 101. Kelas ini dipimpin oleh Professor Dixon, diperankan oleh Jill Scott, yang memulai kelasnya dengan puisi. Mengutip kalimat pertamanya, “I don’t write poetry.” Dengan alih sebagai kelas ecek-ecek untuk lulus, Coco malah diperhadapkan dengan situasi yang cukup sulit. Mulai dari berseteru dengan teaching assistant yang bernama Derek, diperankan oleh Lucien Laviscount, hingga mencoba mengadaptasi puisi dan memudarkan jiwa rapper-nya selama ini.
Film ini disutradarai oleh RZA aka Robert Fitzgerald Diggs, yang sebelumnya pernah membuat “The Man with the Iron Fists” di tahun 2012. Berbeda dengan film sebelumnya yang ber-genre Martials Arts, kali ini Ia mengangkat tema musical. Psst, jangan berekspektasi Hollywood musical lainnya. Film ini lebih mengarah seperti “8 Mile”-nya Eminem, yang hampir dua dekade silam.
Membahas ceritanya, film yang ditulis oleh Nicole Jefferson-Asher ini, seakan terlambat untuk menjadi menarik. Masuk ke dalam menit-menit awal, saya cukup sulit untuk masuk beradaptasi dengan ceritanya yang kurang menggigit. Tapi, karena saya memaksanya, lambat laun film ini akan membuat Anda menikmati ceritanya. Malang, di titik saya mulai menikmati kisahnya, ternyata filmnya sudah berakhir. Waduh!
Ceritanya sebetulnya tidak rumit. Penonton akan menyaksikan bagaimana Coco yang selalu pindah-pindah aliran karena kejengkelannya akan sesuatu. Kadang Ia akan mendalami rap, dan kadang akan kembali ke puisi. You can’t have all you want, but you can choose it. Seiring dengan kematangannya dalam berpuisi, Ia seakan memudarkan ciri khasnya selama ini.
Bicara penampilan pemerannya, saya cukup menyukai chemistry antara Banks dan Laviscount di sepanjang film. Keduanya berhasil untuk menghadirkan suasana romantis keduanya, apalagi ditambah kesan puitis yang seakan telah menjadi bagian hidup keduanya. Begitu pula dengan karakter antagonis yang diperankan Jill Scott. Saya suka dengan cara Scott. Lantunan suaranya yang merdu dan enak didengar bisa sekaligus menusuk tajam lewat kalimat-kalimatnya. She’s really nailed it!
Secara keseluruhan, plot “Love Beats Rhymes” mungkin terlalu lambat untuk menjadi menarik, dan terasa kurang di bagian awal. Begitu pula dengan kehadiran karakter Julie yang selalu ada di mana saja, yang benar-benar tampil sebagai pemanis tambahan saja. Sayang saja, potensi film ini untuk menghadirkan Nuyorican, poetry slam, dan lainnya bisa semakin menarik jika digali dan dihadirkan lebih senada. Saya merasa kadang background music film ini suka tidak sejalan dengan adegannya, dan cuma jadi pengacau. Padahal, kualitas akting yang ditampilkan masih terbilang lumayan, namun semuanya luntur akan penyajiannya yang hadir kurang menggigit.
Thanks to Susan Engel from PMK BNC and Lionsgate for providing the screener.