Kesepian? Menurut Peplau dan Perlman dalam studinya, kesepian diartikan sebagai sebuah pengalaman subjektif. Ketika seseorang merasakan kesepian, maka Ia pun akan merasakan kesepian. Keadaan ini merupakan fakta bahwa orang tersebut membutuhkan interaksi sosial yang tidak tersedia. Melalui “4:30,” sutradara asal Singapura, Royston Tan, mencoba menghadirkan pemaknaan kesepian dalam sebuah ‘hubungan tidak biasa’ antara Zhang Xiao Wu dengan Jung.
Zhang Xiao Wu, diperankan Xiao Li Yuan, adalah seorang bocah berusia 11 tahun. Di dalam apartemen kecilnya, tinggal seorang Korea yang berusia 30-an bernama Jung, diperankan oleh Kim Young-Jun. Tanpa ada dasar cerita yang jelas, Xiao Wu sedang hidup sendiri. Tidak jelas diceritakan dimana orangtuanya. Sedangkan Jung, yang tinggal di tenant Xiao Wu, terlihat sebagai seseorang yang mengalami masalah. Uniknya, keduanya hidup di dalam satu tempat yang sama, tapi tidak pernah saling bercakap.
Yang menarik, Xiao Wu tampak berusaha untuk menyelesaikan masalah kesepiannya, dengan mengobservasi Jung. Jung yang depresif, sering merokok dan teler karena mabuk, menjadi objek penelitian yang tepat baginya. Setiap pagi pukul 4:30, Xiao Wu bangun dan memulai aksinya. Ia mendatangi ruangan Jung dengan diam-diam, dan kadang mengambil barang-barang Jung, termasuk salah satu hal yang lumayan personal.
Ternyata, Jung memiliki tujuan tersendiri akan kehadirannya di Singapura. Saat tengah berniat melakukan bunuh diri, Xiao Wu tidak sengaja melihat kegagalannya. Lama-kelamaan, Xiao Wu seakan berusaha untuk memancing interaksi sosial diantara keduanya. Dari hal-hal kecil, hingga hal-hal yang tidak terduga.
Sutradara Royston Tan ternyata menggemari penggunaan angka di dalam judul-judul filmnya. Sebelumnya, Ia menyutradarai “15: The Movie” (2003), dan setelah film ini Ia menggarap “881” (2007), “12 Lotus” (2008) serta yang paling anyar “3688” (2015). Bicara ceritanya, Tan mengemasnya dengan minim dialog dan musik. Ia terfokus untuk menghadirkan aktivitas para pemerannya, terutama pada karakter Xiao Wu. Sebab, gaya penceritaan yang dihadirkan film ini sendiri berasal dari sudut pandang Xiao Wu.
Sayang, ketika Tan terfokus dengan aktivitas, Ia gagal untuk berani menghadirkan emosi yang tepat. Kerapkali karakter Xiao Wu terkesan untuk menampilkan ekspresi. Malang, ekspresi yang dihadirkan Xiao Li Yuan hanya mengalir begitu saja, dan kurang berhasil menggugah saya. Alhasil, tonton ini akan terasa sangat monoton dan tidak terlalu bekerja buat saya.
Awalnya, saya cukup tertarik untuk mengamati Xiao Wu. Sekaligus kerap bertanya-tanya mengapa Ia harus ‘terpaksa’ untuk mandiri. Sayang, tidak ada jawaban yang jelas. Begitupun dengan Jung. Tidak ada penjelasan berarti oleh sebab apa Ia bisa ‘tinggal’ di apartemen Xiao Wu. Begitupun saat usaha percobaan-percobaan yang diharapkan menuai interaksi, hanya terjadi begitu saja.
Secara keseluruhan, saya tidak terlalu merekomendasikan film ini, terutama bagi anda yang ingin mencari sebuah hiburan. Namun ini bisa jadi sebuah ‘hiburan’ bagi Anda penikmat film festival. Film ini sempat ditampilkan dalam Panorama section di Berlin Film Festival ke-56 dan meraih Geber Award ketika hadir di Jogja-NETPAC Asial Film Festival. Tema kesepian juga sebetulnya juga bukan sesuatu yang tidak biasa di dalam film. Sudah ada beberapa film yang mencoba menghadirkannya, seperti “Wild Strawberries,” “Taxi Driver,” hingga “Her.” Tapi mungkin, film ini yang paling menghadirkan kesan ‘observasi’ sepanjang 93 menit. A well-observed film, but too monotone!