Siapa yang tidak mengenal dengan sosok Steve Jobs? Bapak Inovator era modern ini sudah cukup mengubah gaya hidup dunia melalui ciptaan-ciptaannya yang cukup out-of-the-box. Sebut saja, iPad, yang lahir di akhir 90-an dengan konsep menggantikan walkman ataupun CD player portable yang kala itu masih nge-hits. Dalam film biografi yang ketiga, dengan judul “Steve Jobs”, akan membawa penonton dengan kisahnya dalam era yang berbeda.
Di tahun 1984, Steve Jobs, yang diperankan oleh Michael Fassbender, tiba-tiba mendapati adanya gangguan pada mesin demo di detik-detik terakhir peluncuran Apple’s Macintosh. Ia menugaskan Andy Hertzfeld, yang diperankan oleh Michael Stuhlbarg, untuk segera memperbaikinya atau merasakan ancaman dipermalukan Jobs ketika acara berlangsung. Didampingi Joanna Hoffman, eksekutif marketing yang juga tangan kanannya, diperankan oleh Kate Winslet, Jobs melewati babak penuh drama dari setiap pertemuan kecilnya.
Setelah sempat diusir dari perusahaan yang dibangunnya karena kegagalan Macintosh, Jobs kemudian membangun NeXT Computer. Di tahun 1988, Ia kemudian melakukan peluncuran produk NeXT yang sebetulnya masih hanya berbentuk dummy, namun sudah menuai respon. Di saat yang sama, Ia melalui proses drama kembali lewat pertemuan-pertemuan kecilnya menjelang acara. Terakhir, di tahun 1998, Ia kembali ke Apple dan ingin merilis iMac, dua hal tersebut berlanjut dan membawa penonton untuk lebih dekat dengan sosok Steve Jobs.
Kisah dalam film ini diangkat dari buku berjudul “Steve Jobs” yang dikarang Walter Isaacson, yang dirilis tepat 19 hari setelah kematian Jobs. Aaron Sorkin mengangkatnya dalam versi adaptasi yang cukup penuh rombakan, ini disebabkan dengan penambahan interview Sorkin untuk memperkaya ceritanya. Salah satunya, adalah mewawancarai Lisa Brennan-Jobs, key character yang tidak sempat diwawancarai Isaacson.
Adaptasi yang dilakukan Sorkin cukup menarik. Dengan berbekal tiga kejadian yang sejenis, yaitu launching product, kisahnya bisa membuat penonton untuk menggali lebih dalam detil-detil cerita dari setiap perbincangan tanpa perlu melihat lewat penceritaan beralur maju. Kisahnya sendiri memang akan dibalut dengan banyak flashback hampir di setiap sesinya, yang berisi partikel-partikel dari masa lalu. Setiap bagian dikemas dengan cukup padat, dengan beragam interupsi, hingga mengikuti arahan Hoffman sebagai pemegang kendali Jobs.
Film ini disutradarai oleh Danny Boyle, dan Ia menggunakan tiga variasi yang berbeda. Mulai dari penggunaan 16mm untuk babak pertama, 32mm untuk babak kedua dan terakhir penggunaan media digital untuk proses shooting. Semuanya dilakukan untuk memperlihatkan pengembangan waktu sejalan dengan yang dilakukan karakter utama dengan ciptaan-ciptaannya.
Melihat penampilannya jajaran cast-nya, Kate Winslet cukup mengatur alur cerita, walaupun didominasi oleh Michael Fassbender. Fassbender tampil cukup mengesankan hingga menghasilkan sebuah penampilan karakter yang cukup saya benci. Ia tampak arogan dengan segala ke-perfeksionisannya, super optimis dengan segala kembangannya, dan sangat egois. Salah satunya adalah bagaimana Jobs yang tidak mengakui putrinya, Lisa, selama bertahun-tahun. Film ini memberi pandangan baru saya pada Steve Jobs: He was a great innovator, but also was an asshole as dad!
Omong-omong tentang Winslet, yang selalu hadir konsisten, dalam film ini Ia cukup mencuri perhatian saya. Sosok Hoffman awalnya hanya terlihat sebagai kepanjangan tangan saja, namun semakin berjalannya waktu, Ia memendam sesuatu yang ketika diungkapkannya menjadi titik klimaks dari ceritanya. Yang menarik, kedekatan Jobs dan Hoffman tetap digambarkan dekat dan dalam konteks yang professional. Awalnya, saya cukup berspekulasi dengan adanya love affair ataupun semacamnya, dan itu tidak pernah terjadi.
Tidak hanya Sorkin ataupun Boyle yang mengemas setiap bagian secara berbeda, tetapi juga music score yang dikarang Daniel Pemberton. Pemberton menggunakan tiga jenis musik latar yang berbeda: analog, orchestral, dan digital. Ketiganya mewakili periodenya, dan menjadi sebuah paduan yang menegangkan. Bagaimana tidak, ceritanya yang selalu dikemas dalam bentuk detik-detik terakhir akan membawa penonton ke sebuah kerumitan, bila saya memposisikan diri saya sebagai Jobs. Disaat Ia harus terfokus untuk menyelesaikan hambatan-hambatan kecil, Ia selalu menjadi tidak difokus, karena adanya masalah-masalah ataupun pengulangan peristiwa yang dilewatinya bersama tamu-tamu spesialnya.
Buat saya, pengemasan film ini sangat menarik. Punya tiga gaya dalam tiga periode, demi membawa penonton berhasil masuk ke masing-masing era. Namun, saya tetap masih kurang menyukai karakter utama yang semakin diposisikan layaknya antagonis, dan pada akhirnya saya menangkap maksud inti cerita film ini: dad-daugther relationship.