Terlahir sebagai generasi ketiga, membuat Tock berusaha meneruskan profesi pendahulunya, menjadi seorang pelawak. Akan tetapi penampilan perdananya tidak memuaskan grup lawak sang ayah.
“The Little Comedian” merupakan drama komedi asal Thailand yang terpusat pada kehidupan seorang bocah 12 tahun yang bernama Mr. Lor-Tock Pa-Plern, yang diperankan oleh Chawin Likitjareonpong. Adegan pertama dimulai lewat adegan seorang perempuan yang sedang melahirkan, yang ternyata merupakan Ibu Tock. Semenjak kegagalannya pada panggung perdananya, Tock tidak pernah diajak sang Ayah untuk menemaninya menghibur penonton.
Kegagalan ini membuat Tock termotivasi untuk berusaha menjadi penerus yang mampu membuat orang tertawa. Ia kemudian menggunakan kedua temannya untuk melakukan pentas stand up comedy, walaupun tanpa penonton dan semuanya berasal dari arahan Tock.
Suatu ketika, Ia bertemu dengan seorang dokter kecantikan temannya, Dr. Ice, yang diperankan oleh Julia Taylor. Ia mengetahuinya ketika membututi sahabatnya yang tiba-tiba pergi tanpa alasan jelas. Terpukau dengan kecantikan Dr. Ice, Tock kemudian punya misi baru: ingin memiliki jerawat. Ia kemudian berusaha makan coklat sebanyak-banyaknya, dan lewat pinjaman uang tabungan adiknya, Ia berhasil mewujudkan misi kecilnya.
Pertemuan dengan Dr. Ice memberikan sebuah transisi cerita yang kemudian terfokus pada keduanya. Film ini cukup membuat saya geli, ketika Tock yang berusia 12 tahun crush pada seorang dokter cantik yang berusia 13 tahun diatasnya. Salah satu yang menambah ketertarikan Tock adalah kebiasaan Dr. Ice yang selalu tertawa dengan lelucon-lelucon Tock yang tidak terlalu lucu. Akankah Tock berhasil merebut hati Dr. Ice?
Film besutan dua sutradara, Witthaya Thongyooyong dan Mez Tharathorn ini punya premis yang menarik. Saya senang dengan penggarapan dan penampilan karakter yang cukup terbilang outstanding untuk film kelas Asia, seperti sosok Tock, Plern, Dr. Ice, hingga adik Tock. Walaupun ceritanya punya banyak dialog yang mungkin belum tentu jenaka bagi penonton non-Thailand, akan tetapi bila dicermati film ini masih punya pesan. Plot film ini hampir agak serupa dengan “Hello Ghost”-nya Korea yang punya plot komedi di bagian-bagian awal, sebelum akhirnya masuk ke klimaks yang dramatis.
Penampilan Chawin Likitjareonpong dalam film ini perlu diacungi jempol. Walaupun masih terbilang children actor dalam film ini, Likitjareonpong cukup mencuri penonton untuk berpikir dari perspektifnya yang merasa disakiti. Paula Taylor sebagai love interest dalam film ini juga cukup menjadi pemberi warna dari jajaran pemainnya, biar hanya memerankan karakter yang tidak terlalu menonjol tetapi penting dalam kisahnya.
Sisanya, ada dua aktor yang lebih memukau dari Likijareonpong. Pertama, adalah sosok Plern, ayah Tock, yang diperankan Jaturong Mokjok. Mokjok benar-benar menghadirkan karakter Ayah yang betul-betul family man, diluar profesinya yang kadang membuat harus tampil seperti transvestite. Salah satu yang cukup menyentuh dari kisahnya adalah ketika Plern menasihati Tock: “But what girls like the most is a family man!”
Tidak ketinggalan adalah karakter adik Tock, Salmon, yang diperankan oleh Nichapat Charurattanawaree. Walaupun tidak punya peran yang cukup penting, karakter Salmon selalu mendominasi lewat kelucuannya ketika Ia hadir. Charurattanawaree menampilkan sebuah kualitas real comedy talent, yang cukup membuat penonton terbahak-bahak.
Film ini memulai premiere-nya pada ajang 15th Busan International Film Festival dalam bagian program A Window on Asian Cinema, sebelum akhirnya ikut serta lagi di 14th Shanghai International Film Festival dalam Panorama – Global Village: Thai Week. Secara keseluruhan, penggarapan film ini memang masih agak terbilang kurang. Di luar dari itu semua, saya cukup menyukai pelajaran dari film pre-coming of age ini akan ketulusan, keluarga, dan cara Ia memahami dirinya sendiri.